BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Syndrome merupakan
keadaan klinis yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia,
hiperkolesterolemia, dan adanya edema. Kadang-kadang disertai hematuri,
hipertensi dan menurunnya kecepatan filtrasi glomerulus. Sebab pasti belum
jelas, dianggap sebagai suatu penyakit autoimun.
Secara
umum etiologi dibagi menjadi nefrotic syndrome bawaan, sekunder, idiopatik dan
sklerosis glomerulus. Penyakit ini biasanya timbul pada 2/100000 anak setiap
tahun. Primer terjadi pada anak pra sekolah dan anak laki-laki lebih banyak
daripada anak perempuan.
Peran
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sangat penting karena pada pasien
nefrotic syndrome sering timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
manusia. Perawat diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang
memadai. Fokus asuhan keperawatan adalah mengidentifikasi masalah yang timbul, merumuskan
diagnosa keperawatan, membuat rencana keperawatan, melaksanakan dan
mengevaluasi tindakan yang telah diberikan apakah sudah diatasi atau belum atau perlu
modifikasi.
1.2
Rumusan Masalah
Permasalahan yang saya angkat dalam makalah ini adalah bagaimana asuhan
keperawatan pada sindroma nefrotik.
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui dasar tentang sindroma nefrotik.
2. Untuk
mengetahui pembagian dari sindroma nefrotik.
3. Untuk
mengetahui asuhan keperawatan pada pasien sindroma nefrotik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai
dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang
mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004).
Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang
disebabkan oleh injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik;
proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi
dan Rita Yuliani, 2001).
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang
terdiri dari proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia
(kurang dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema
dan hiperkolesterolemia. (Rauf, 2002).
Sindroma Nefrotik (NEPHROTIC
SYNDROME) adalah suatu sindroma (kumpulan gejala-gejala) yang terjadi akibat
berbagai penyakit yang menyerang ginjal dan menyebabkan: – proteinuria (protein
di dalam air kemih) – menurunnya kadar albumin dalam darah – penimbunan garam
dan air yang berlebihan – meningkatnya kadar lemak dalam darah.
Sindroma ini
bisa terjadi pada segala usia. Pada anak-anak, paling sering timbul pada usia
18 bulan sampai 4 tahun, dan lebih banyak menyerang anak laki-laki.
2.2. Anatomi fisiologi
a. Anatomi Ginjal
Ginjal
merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak retroperitoneal dengan
panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri kanan vertebra. Pada umumnya,
ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya hepar dan lebih
dekat ke garis tengah tubuh. Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas
vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal setinggi batas bawah vertebra
lumbalis III. Pada fetus dan infan, ginjal berlobulasi. Makin bertambah umur,
lobulasi makin kurang sehingga waktu dewasa menghilang.
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula.
Medula terdiri atas piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah,
rata-rata 12 buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar
piramid ini ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla marginalis)
menonjol ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks
mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor/minor ini bersatu
menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter.
Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubili,
sedangkan pada medula hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan
membentuk Nefron. Satu unit nefron terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal,
loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula duktus
koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula
lebih kurang 1,5-2 juta glomeruli.
Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada
glomerulus ini filtrat dimulai, filtrat adalah isoosmotic dengan plasma pada
angka 285 mosmol. Pada akhir tubulus proksimal 80 % filtrat telah di absorbsi
meskipun konsentrasinya masih tetap sebesar 285 mosmol. Saat infiltrat bergerak
ke bawah melalui bagian desenden lengkung henle, konsentrasi filtrat bergerak
ke atas melalui bagian asenden, konsentrasi makin lama makin encer sehingga
akhirnya menjadi hipoosmotik pada ujung atas lengkung. Saat filtrat bergerak
sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat sehingga akhirnya
isoosmotic dengan plasma darah pada ujung duktus pengumpul. Ketika filtrat
bergerak turun melalui duktus pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat
meningkat pada akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi dan
hanya sekitar 1% yang diekskresi sebagai urin atau kemih (Price,2001 : 785).
b. Fisiologi
ginjal
Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah
satu alat ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk
dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh
sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.
1) Faal glomerolus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk
ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler
yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid
osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut
glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas
pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan
tubuh anak.
2) Faal Tubulus
Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi
dan sekresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di
glomerolus. Sebagaimana diketahui, GFR : 120 ml/menit/1,73 m2, sedangkan yang
direabsorbsi hanya 100 ml/menit, sehingga yang diekskresi hanya 1 ml/menit
dalam bentuk urin atau dalam sehari 1440 ml (urin dewasa).
Pada
anak-anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai dengan umur :
a)
1-2 hari : 30-60 ml
b)
3-10 hari : 100-300 ml
c)
10 hari-2 bulan : 250-450 ml
d)
2 bulan-1 tahun : 400-500 ml
e)
1-3 tahun : 500-600 ml
f)
3-5 tahun : 600-700 ml
g)
5-8 tahun : 650-800 ml
h)
8-14 tahun : 800-1400 ml
3) Faal Tubulus Proksimal
Tubulus
proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak melakukan reabsorbsi yaitu
± 60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang
direabsorbsi adalah protein, asam amino dan glukosa yang direabsorbsi sempurna.
Begitu pula dengan elektrolit (Na, K, Cl, Bikarbonat), endogenus organic ion
(citrat, malat, asam karbonat), H2O dan urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan
basa organik.
4) Faal loop of henle
Loop of henle yang
terdiri atas decending thick limb, thin limb dan ascending thick limb itu
berfungsi untuk membuat cairan intratubuler lebih hipotonik.
5) Faal tubulus distalis dan
duktus koligentes
Mengatur keseimbangan
asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O dan
ekskresi Na, K, Amonium dan ion hidrogen. (Rauf, 2002 : 4-5).
2.3. Etiologi
Penyebab
umum penyakit tidak diketahui; akhir-akhir ini sering
dianggap sebagi suatu bentuk penyakit autoimun. Jadi merupakan reaksi antigen-antibodi.
Umumnya dibagi menjadi 4 kelompok :
a)
Sindroma nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal. Resisten terhadap semua
pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya.
b)
Sindroma nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :
Malaria kuartana atau parasit
lainnya.
Penyakit kolagen seperti lupus
eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
Glumerulonefritis akut atau
kronik,
Trombosis vena renalis.
Bahan kimia seperti trimetadion,
paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.
Amiloidosis, penyakit sel sabit,
hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.
c)
Sindroma nefrotik idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) (Arif Mansjoer,2000 :488)
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer.
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn pemeriksaan
mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churk dkk membaginya menjadi :
v Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel
epitel berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada
dinding kapiler glomerulus.
v Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
v Glomerulonefritis
proliferatif
- Glomerulonefritis proliferatif
esudatif difus. Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel
polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler
tersumbat.
- Dengan penebalan batang lobular.
v Glomerulosklerosis fokal
segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus.
Sering disertai atrofi tubulus. Prognosis buruk.
2.4. Insiden
a.
Insidens lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan
pria ; wanita =2:1.
b.
Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan
etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan
responnya trerhadap pengobatan
c.
Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1 tahun
d.
Sindrom nefrotik perubahan minimal (SNPM) menacakup 60 – 90 % dari semua kasus
sindrom nefrotik pada anak
e.
Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 % menjadi 5 % dengan majunya
terapi dan pemberian steroid.
f.
Bayi dengan sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk nefrektomi
bilateral dan transplantasi ginjal. (Cecily L Betz, 2002)
2.5. Patofisiologi
a.
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada
hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan dari
proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, tekanan
osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke dalam
interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan
intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal
karena hypovolemi.
b.
Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan
merangsang produksi renin – angiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretik
hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi kalium dan
air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema.
c.
Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan
stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan penurunan
onkotik plasma
d.
Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipopprtein dalam
hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan
banyak dalam urin (lipiduria)
e.
Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh
karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. (Suriadi dan Rita
yuliani, 2001 :217)
2.6. Manifestasi klinik
a. Menurut (Sukiane,
2002).
·
Peningkatan protein dalam urin
secara bermakna (proteinuria)
- Penurunan
albumin dalam darah
- Edema
- Serum cholesterol yang tinggi
(hiperlipidemia)
Tanda – tanda
tersebut dijumpai disetiap kondisi yang sangat merusak membran kapiler
glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus.
b. Menurut (Betz, Cecily
L.2002 : 335 ).
·
Edema, sembab pada kelopak mata
Edema biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema
biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan
disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan
ekstermitas bawah.
·
Rentan terhadap infeksi sekunder
·
Hematuria, azotemeia, hipertensi ringan
·
Kadang-kadang sesak karena ascites
·
Produksi urine berkurang
·
Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat
dan keletihan umumnya terjadi.
Gejala secara umum:
a.
Edema (pembengkakan jaringan) akibat penimbunan garam
dan air.
1.
bervariasi dari bentuk ringan
sampai berat (anasarka)
2.
lunak dan cekung bila ditekan
(pitting)
3.
ditemukan disekitar mata (periorbital)
dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia (kantung zakar) dan ekstermitas bawah
b.
Penurunan jumlah urin : urine
gelap, berbusa
Bisa terjadi gagal ginjal karena rendahnya volume
darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal.
c.
Pucat
d.
Hematuri
e.
Anoreksia dan diare disebabkan
karena edema mukosa usus.
f.
Sakit kepala, malaise, nyeri
abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi.
g.
Gagal tumbuh dan pelisutan otot
(jangka panjang) (Betz, Cecily L.2002 : 335 ).
h.
(anak-anak) penurunan tekanan darah pada saat berdiri sehingga menyebabkan syok.
Kekurangan
gizi bisa terjadi akibat hilangnya zat-zat gizi (misalnya glukosa) ke dalam air
kemih. Pertumbuhan anak-anak bisa terhambat. Kalsium akan diserap dari tulang.
Rambut dan kuku menjadi rapuh dan bisa terjadi kerontokan rambut. Pada kuku
jari tangan akan terbentuk garis horisontal putih yang penyebabnya tidak
diketahui.
Lapisan
perut bisa mengalami peradangan (peritonitis). Sering terjadi infeksi
oportunistik (infeksi akibat bakteri yang dalam keadaan normal tidak
berbahaya). Tingginya angka kejadian infeksi diduga terjadi akibat hilangnya
antibodi ke dalam air kemih atau karena berkurangnya pembentukan antibodi.
Terjadi
kelainan pembekuan darah, yang akan meningkatkan resiko terbentuknya bekuan di
dalam pembuluh darah (trombosis), terutama di dalam vena ginjal yang utama. Di
lain fihak, darah bisa tidak membeku dan menyebabkan perdarahan hebat.
Tekanan
darah tinggi disertai komplikasi pada jantung dan otak paling mungkin terjadi
pada penderita yang memiliki diabetes dan penyakit jaringan ikat.
7.Pemeriksaan
diagnostik
a.Uji urine
1)
Protein urin – meningkat
2)
Urinalisis – cast hialin dan granular, hematuria
3)
Dipstick urin – positif untuk protein dan darah
4)
Berat jenis urin – meningkat
b.Uji darah
1)
Albumin serum – menurun
2)
Kolesterol serum – meningkat
3)
Hemoglobin dan hematokrit – meningkat (hemokonsetrasi)
4)
Laju endap darah (LED) – meningkat
5)
Elektrolit serum – bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan.
c.Uji diagnostic
Biopsi ginjal merupakan
uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin (Betz, Cecily L, 2002 : 335).
Evaluasi
Diagnostik
Urinalisis
menunjukkan haemturia mikroskopik, sedimen urine, dan abnormalitas lain. Jarum
biopsi ginjal mungkin dilakukan untuk pemriksaan histology terhadap jaringan
renal untuk memperkuat diagnosis.
Terdapat
proteinuri terutama albumin (85 – 95%) sebanyak 10 –15 gr/hari. Ini dapat
ditemukan dengan pemeriksaan Essbach. Selama edema banyak, diuresis berkurang,
berat jenis urine meninggi. Sedimen dapat normal atau berupa toraks hialin, dan
granula lipoid, terdapat pula sel darah putih. Dalam urine ditemukan double
refractile bodies. Pada fase nonnefritis tes fungsi ginjal seperti : glomerular
fitration rate, renal plasma flowtetap normal atau meninggi . Sedangkan maximal
konsentrating ability dan acidification kencing normal . Kemudian timbul
perubahan pada fungsi ginjal pada fase nefrotik akibat perubahan yang progresif
pada glomerulus.
Kimia
darah menunjukkan hipoalbuminemia, kadar globulin normal atau meninggi sehingga
terdapat rasio Albumin-globulin yang terbalik, hiperkolesterolemia, fibrinogen
meninggi. Sedangkan kadar ureum normal. Anak dapat menderita defisiensi Fe
karena banyak transferin ke luar melalui urine. Laju endap darah tinggi, kadar
kalsium darah sering rendah dalam keadaan lanjut kadang-kadang glukosuria tanpa
hiperglikemia.
2.8. Penatalaksanaan Medik
a. Terapi nonfarmakologis
1)
Diet : 35 kal/kgBB/hari,
sebagian besar terdiri dari karbohidrat.
Dianjurkan diet protein
normal 0,8-1 g/kgBB/hari. Giordano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari
ditambah dengan jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri.
Hasilnya proteinuri berkurang,
kadar albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun.
2)
Istirahat sampai oedema tinggal sedikit
b. Terapi farmakologis
1. Terapi spesifik :
a. untuk kelainan dasar
ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder)
b. mengurangi atau
menghilangkan proteinuria
c. memperbaiki hipoalbuminemia
d. mencegah dan mengatasi
penyulit.
Nefropati lesi minimal dan
nefropati membranosa adalah dua kelainan yang
memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan
bahwa pada glomerulosklerosis fokal
segmental sampai 40% pasien memberi respon yang baik terhadap steroid
dengan remisi lengkap.
Schieppati
dan kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi
ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada
nefropati jenis ini.
Regimen
penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali
selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2
bulan jika relaps, terapi dapat diulangi.
Regimen
lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon
1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang
1 hari selama 4 minggu. Sampai 90%
pasien akan remisi bila terapi
diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50%
pasien akan mengalami kekambuhan setelah
kortikosteroid dihentikan. Hopper menggunakan dosis 100 mg/48 jam. Jika tidak
ada kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan
sampai 200 mg per 48 jam dan dipertahankan
sampai proteinuri turun hingga 2 gram atau kurang per 24 jam, atau sampai
dianggap terapi ini tidak ada manfaatnya.
Pada anak-anak diberikan prednison 60 mg/m2 luas permukaan tubuh atau 2 mg/kg
berat badan/hari selama 4 minggu, diikuti 40 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap 2 hari
selama 4 minggu. Respon klinis
terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi :
a. Remisi lengkap
·
proteinuri minimal
(< 200 mg/24 jam)
·
albumin serum >3
g/dl
·
kolesterol serum <
300 mg/dl
·
diuresis lancar dan
edema hilang
b. Remisi parsial
- proteinuri <3 g="" hari="" o:p="">3>
c. Resisten
klinis dan laboratoris tidak
memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan
kortikosteroid.
Pemberian
kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal,
remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada
glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian
kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak,
osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus. Pada pasien yang tidak responsif
terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi proteinuri digunakan terapi
simptomatik dengan angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACEI),
misal kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2
minggu atau obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin 3×50mg.
Angiotensin
converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi protein glomerulus dengan
menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus dan memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek antiproteinurik obat
ini berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan setelah obat dihentikan).Angiotensin
receptor blocker (ARB)(ARB)
ternyata juga dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan
fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi
molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal.
Kombinasi
ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada
glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. Obat
antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati membranosa dan
glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis prostaglandin. Hal
ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan kapiler glomerulus,
area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai 75%.
Selain
itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan
mencegah agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS
menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini
tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.
Pada
pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten terhadap
kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau
klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada
kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari selama 8
minggu. Efek samping siklofosfamid adalah depresi sumsum tulang, infeksi,
alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan lebih dari 6
bulan. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg bb./hari selama 8
minggu. Efek samping klorambusil adalah azoospermia dan agranulositosis.
Ponticelli dan kawan-kawan menemukan bahwa pada nefropati membranosa idiopatik,
kombinasi metilprednisolon dan klorambusil selama 6 bulan menginduksi remisi
lebih awal dan dapat mempertahankan fungsi ginjal dibandingkan dengan
metilprednisolon sendiri, namun perbedaan ini berkurang sesuai dengan waktu
(dalam 4 tahun perbedaan ini tidak bermakna lagi). Regimen yang digunakan
adalah metilprednisolon 1 g/hari intravena 3 hari, lalu 0,4 mg/kg/hari peroral
selama 27 hari diikuti klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1 bulan berselang seling.
Alternatif
lain terapi nefropati membranosa adalah siklofosfamid 2 mg/kg/hari ditambah 30
mg prednisolon tiap 2 hari selama beberapa bulan (maksimal 6 bulan). Levamisol
suatu obat cacing, dapat digunakan untuk terapi SN nefropati lesi minimal pada
anak-anak dengan dosis 2,5mg/kg bb tiap 2 hari sekurang-kurangnya 112 hari.
Efek samping yang jarang terjadi adalah netropeni, trombositopeni dan skin
rash.
Siklosporin
A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi siklofosfamid atau untuk
memperpanjang masa remisi setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5
mg/kgbb/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan
25% setiap 2 bulan). Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan
prednisolon pada kasus SN yang gagal dengan kombinasi terapi lain. Efek samping
obat ini adalah hiperplasi gingival, hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi
dan nefrotoksis. Terapi lain yang belum terbukti efektivitasnya adalah
azatioprin 2-2,5 mg/kgBB/hari selama 12 bulan.
Pada
kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat imunospresan, saat ini dapat
diberikan suatu imunosupresan baru yaitu mycophenolate
mofetil (MMF) yang memiliki
efek menghambat proliferasi sel limfosit B dan limfosit T, menghambat produksi
antibodi dari sel B dan ekspresi molekul adhesi, menghambat proliferasi sel
otot polos pembuluh darah. Penelitian Choi dkk pada 46 pasien SN dengan
berbagai lesi histopatologi mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan remisi
parsial 37,8 %. Dosis MMF adalah 2 x (0,5-1) gram.
Untuk
mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram natrium/hari) disertai
diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau tanpa
kombinasi dengan potassium
sparing diuretic (spironolakton).
Pada pasien SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan
200 mg spironolakton).
Resistensi terhadap
diuretik ini bersifat multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi menyebabkan
berkurangnya transportasi obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh
protein urin bukan merupakan mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien
demikian dapat diberikan infussalt-poor human albumin. Dikatakan
terapi ini dapat meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi
glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium. Namun demikian infus albumin ini
masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat diekskresi lewat urin,
selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan edema paru pada pasien
hipervolemi.
Hiperlipidemi
dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis dini. Untuk
mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A(HMG
Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan ini
dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat,
klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit menurunkan
kadar kolesterol. Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar
klofibrat bebas yang meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal
akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi
efeknya minimal terhadap trigliserida. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan
kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin
dan kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL,
namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus
yang memperburuk defisiensi vitamin D pada SN.
Untuk
mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli yang terjadi pada
kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati membranosa), digunakan
dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100 mg/hari) sebagai anti agregasi
trombosit dan deposisi fibrin/trombus. Selain itu obat-obat ini dapat
mengurangi secara bermakna penurunan fungsi ginjal dan terjadinya gagal ginjal
tahap akhir. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami proteinuri nefrotik,
albumin <2 1="" 3="" 5="" activated="" atau="" bulan="" class="apple-converted-space" dengan="" diberikan="" dievaluasi="" diikuti="" dl="" efek="" g="" hari="" harus="" heparin="" infus="" intravena="" jika="" kali="" keduanya.="" kesembuhan="" kontrol="" oral="" pantauan="" partial="" pemberian="" sampai="" sedangkan="" selama="" setelah="" sn.="" span="" terjadi="" thromboplastin="" time="" tromboemboli="" warfarin=""> 2>prothrombin
time (PT) yang biasa
dinyatakan dengan International
Normalized Ratio (INR) 2-3
kali normal. Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal
atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian
imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.
Pemakaian
imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus seperti campak dan herpes.
Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik,
gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama
dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik,
selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal. Dantal dkk menemukan
pada pasien glomerulosklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi
ginjal, 15%-55% akan terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin disebabkan oleh
adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang meningkatkan
permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A menurunkan ekskresi
protein urin pada pasien SN karena glomerulosklerosis fokal segmental,
nefropati membranosa maupun SN sekunder karena diabetes melitus. Diduga
imunoadsorpsi melepaskan faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau faktor
yang meningkatkan permeabilitas glomerulus.
2.9.
Komplikasi
a.
Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia.
b. Shock :
terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang
menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.
c.
Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi
peninggian fibrinogen plasma.
d. Komplikasi
yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.
(Rauf, .2002 : .27-28).
(Rauf, .2002 : .27-28).
Asuhan
keperawatan
Konsep Dasar
Keperawatan
Asuhan Keperawatan
dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan,
mencegah dan memulihkan kesehatan. Proses Keperawatan merupakan susunan metode
pemecahan masalah yang meliputi pengkajian keperawatan, identifikasi/analisa
maslah (diagnosa Keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi yang
masing-masing berkesinambungan serta memerlukan kecakapan keterampilan
profesional tenaga keperawatan (Hidayat,2004)
1. Pengkajian.
Pengkajian merupakan langkah awal dari tahapan proses keperawatan. Dalam mengkaji, harus memperhatikan data dasar pasien. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap pengkajian.
Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien anak dengan sindrom nefrotik (Donna L. Wong,200 : 550) sebagai berikut :
Pengkajian merupakan langkah awal dari tahapan proses keperawatan. Dalam mengkaji, harus memperhatikan data dasar pasien. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap pengkajian.
Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien anak dengan sindrom nefrotik (Donna L. Wong,200 : 550) sebagai berikut :
a.
Lakukan pengkajian fisik termasuk pengkajian luasnya edema
b.
Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang berhubungan dengan
penambahan berat badan saat ini, disfungsi ginjal.
c.
Observasi adanya manifestasi sindrom nefrotik :
1)
Penambahan berat badan
2)
Edema
3)
Wajah sembab :
a)
Khususnya di sekitar mata
b)
Timbul pada saat bangun pagi
c)
Berkurang di siang hari
4)
Pembengkakan abdomen (asites)
5)
Kesulitan pernafasan (efusi pleura)
6)
Pembengkakan labial (scrotal)
7)
Edema mukosa usus yang menyebabkan :
a)
Diare
b)
Anoreksia
c)
Absorbsi usus buruk
d)
Pucat kulit ekstrim (sering)
8)
Peka rangsang
9)
Mudah lelah
10) Letargi
11) Tekanan darah
normal atau sedikit menurun
12) Kerentanan
terhadap infeksi
13) Perubahan urin
:
a)
Penurunan volume
b)
Gelap
c)
Berbau buah
d)
Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian, misalnya analisa urine akan
adanya protein, silinder dan sel darah merah; analisa darah untuk protein serum
(total, perbandingan albumin/globulin, kolesterol), jumlah darah merah, natrium
serum.
2. Diagnosa keperawatan
1.
Kelebihan
volumecairan berhubungan dengan hipoalbuminemia.
Tujuan: kelebihan volume cairan dapat teratasi setelah 3 hari
perawatan dengan kriteria edema, ascites, ronki tidak ada, sembab hilang,
peningkatan albumin dan tanda vital dalam batas normal
Intervensi
|
Rasional
|
1. Timbang
berat badan setiap hari dengan alat yang sama
2. Catat
pemasukan dan pengeluaran carian
3. Monitor
nadi dan tekanan darah
4. Observasi
adanya perubahan edema
5. Observasi
tingkat kesadaran, bunyi paru dan jantung
6. Kolaboratif
: diuretik
|
Mengawasi
status cairan yang baik. Peningkatan berat badan lebih dari 0,5 kg/hari diduga ada retensi cairan
Perlu waktu
menentukan fungsi ginjal. Kebutuhan penggantian cairan dan penurunan resiko
kelebihan cairan.
Takikardi dan hipertermi dapat terjadi karena kegagalan ginjal untuk
mengeluarkana urine.
Edem dapat bertambah terutama pada jaringan yang tergantung. Edema
periorbita menunjukkan adanya perpindahan cairan.
Dapat menunjukkan adanya perpindahan cairan, akumulasi toksin,
ketidak seimbangan elektrolit.
Melebarkan lumen tubular, mengurangi hiperkalemia dan meningkatkan
volume urine adekuat.
|
1.
Nyeri
(akut) berhubungan dengan akumulasi cairan dalam rongga abdomen
Tujuan
nyeri (akut) teratasi setelah 3 hari perawatan dengan kriteria secara verbal
dan non verbal nyeri berkurang atau hilang, skala 0 – 3, nadi dan tekanana
darah dalam batas normal, ascites menurun atau hilang.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Observasi
lingkar abdomen setiap hari
2. Observasi
nyeri (perubahan/ penambahan), kualitas, lama
3. Kaji
bising usus
4. Observasi
nadi dan tensi
5. Kolaboratif
: diuretik
|
Penambahan
lingkar abdomen dapaat memberikan gambaran penambahan akumulasi cairan.
Perubahan
dalam intensitas tidak umum tetapi dapat menunjukkan adanya komplikasi
Penurunan
bising usus dapat memperberat keluhan nyeri dan indikasi adanya ileus
Nyeri yang hebat dapat meningkatkan nadi dan tensi
Meningkatkan pengeluaran urine yang adekuat.
|
1.
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubugan dengan malnutrisi sekunder dari
katabolisme protein
Nutrisi
terpenuhi sesuai kebutuhan klien setelah mendapat perawatan 3 hari dengan
kriteria edema berkurang atau hilang, albumin dalam batass normal, status gizi
baik dan mual tidak ada, porsi makan dihabiskan.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Berikan
diet rendah garam dan batasi pemberiana protein 1-2 gr/kg BB/hari
2. Kaji
adanya anoreksia, muntah, diare
3. Catat
intake dan output makanan secara adekuat.
4. Observasi
lingkar perut, bising usus
|
Mencegah
retensi natrium berlebihan dan rusaknya hepar dan hemodinamik ginjal.
Sebagai reaksi
adanya edema intstinal.
Monitoring
asupan nutrisi bagi tubuh
Memantau fungi peristaltik usus.
|
1.
Resiko
tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas yang menurun
Tujuan
setelah mendapat perawatan selama 1 minggu tidak terjadi infeksi dengan
kriteria tidak ada tanda-tanda infeksi, tanda vital dalam batas normal, tidak
terjadi phlebitis.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Cuci
tangan sebelum dan sesudah perawatan
2. Lakukan
tindakan invasif dengan teknik aseptik
3. Batasi
pengunjung dan tempatkan klien pada ruang non infeksi
4. Observasi
tanda vital : nadi dan suhu tiap 3 jam
5. Observasi
tempat pemasangan venflon.
|
Mengurangi
resiko terjadi infeksi nosokomial
Meminimalkan
kemungkinan terjadi infeksi antar pasien dan dari luar
Nadi dan suhu
yang meningkat indikator adanya infeksi
Venflon merupaka port de entri kuman patogen
|
1.
Kecemasan
pasien berhubungan dengan dampak hospitalisasi
Tujuan
setelah mendapat perawatan 3 hari kecemasan pasien berkurang atau hilang dengan
kriteria secara verbal mengatakana tidak takur, tidak menangis saat didekati,
kooperatif terhadap tindakan keperawatan dan mau diajak komunikasi.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Perkenalkan
diri kepada klen dan keluarga
2. Libatkan
keluarga dalam perawatan klien
3. Anjurkan
agar orang terdekat klien menjaganya.
4. Jelaskan
kepada anak setiap tindakan yang akan dilakukan
5. Observasi
adanya perubahan perilaku pada respon hospitalisasi
|
Membina
hubungan saling percaya dengan klien dan keluarga.
Menciptakan
hubungan kerjasama
Memberikan
rasa nyaman kepada klien
Agar anak
kooperatif pada setiap tindakan keperawatan
Merupakan pedoman dalam menentukan perlu tidaknya perbaikan
intervensi.
|
2.
Resiko
tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema.
Tujuan
setelah dilakukan perawatan selama 1 minggu kerusakan integritas kulit tidak
terjadi dengan kriteria edema berkurang atau hilang, kulit merah, tidak terjadi
lecet dan dekubitus.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Pertahankan
sprei dalam keadaan kering, bersih dan rapih.
2. Observasi
lokasi yang mengalami penekanan dalam jangka waktu yang lama
3. anjurkan
kepada ibu untuk setiap kali ngompol kain pengalas diganti
4. Observasi
edema
|
Kelembaban
yang berlebihan menimbulkan rusaknya integritas kulit
Deteksi dini
adanya kerusakan integritas kulit
Urine bersifat
asama dapat mengiritasi kulit jika kontak dalam jangka waktu yang lama
Deteksi kemungkinan bertambah paarahnya integritas kulit.
|
No comments:
Post a Comment