Saturday 22 June 2013

sindroma nefrotik

BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Syndrome merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan adanya edema. Kadang-kadang disertai hematuri, hipertensi dan menurunnya kecepatan filtrasi glomerulus. Sebab pasti belum jelas, dianggap sebagai suatu penyakit autoimun.
Secara umum etiologi dibagi menjadi nefrotic syndrome bawaan, sekunder, idiopatik dan sklerosis glomerulus. Penyakit ini biasanya timbul pada 2/100000 anak setiap tahun. Primer terjadi pada anak pra sekolah dan anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan.
Peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sangat penting karena pada pasien nefrotic syndrome sering timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Perawat diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Fokus asuhan keperawatan adalah mengidentifikasi masalah yang timbul, merumuskan diagnosa keperawatan, membuat rencana keperawatan, melaksanakan dan mengevaluasi tindakan yang telah diberikan apakah sudah diatasi atau belum atau perlu modifikasi.
                                                        



1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang saya angkat dalam makalah ini adalah bagaimana asuhan keperawatan pada sindroma nefrotik.
1.3       Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dasar tentang sindroma nefrotik.                           
2. Untuk mengetahui pembagian dari sindroma nefrotik.
3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien  sindroma nefrotik. 


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian
Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004).
Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001).
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan hiperkolesterolemia. (Rauf, 2002).
Sindroma Nefrotik (NEPHROTIC SYNDROME) adalah suatu sindroma (kumpulan gejala-gejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang ginjal dan menyebabkan: – proteinuria (protein di dalam air kemih) – menurunnya kadar albumin dalam darah – penimbunan garam dan air yang berlebihan – meningkatnya kadar lemak dalam darah.
Sindroma ini bisa terjadi pada segala usia. Pada anak-anak, paling sering timbul pada usia 18 bulan sampai 4 tahun, dan lebih banyak menyerang anak laki-laki.
 2.2. Anatomi fisiologi
a. Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak retroperitoneal dengan panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri kanan vertebra. Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh. Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal setinggi batas bawah vertebra lumbalis III. Pada fetus dan infan, ginjal berlobulasi. Makin bertambah umur, lobulasi makin kurang sehingga waktu dewasa menghilang.
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter.
Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubili, sedangkan pada medula hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron. Satu unit nefron terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih kurang 1,5-2 juta glomeruli.
Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada glomerulus ini filtrat dimulai, filtrat adalah isoosmotic dengan plasma pada angka 285 mosmol. Pada akhir tubulus proksimal 80 % filtrat telah di absorbsi meskipun konsentrasinya masih tetap sebesar 285 mosmol. Saat infiltrat bergerak ke bawah melalui bagian desenden lengkung henle, konsentrasi filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden, konsentrasi makin lama makin encer sehingga akhirnya menjadi hipoosmotik pada ujung atas lengkung. Saat filtrat bergerak sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat sehingga akhirnya isoosmotic dengan plasma darah pada ujung duktus pengumpul. Ketika filtrat bergerak turun melalui duktus pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat meningkat pada akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi dan hanya sekitar 1% yang diekskresi sebagai urin atau kemih (Price,2001 : 785).

b. Fisiologi ginjal
Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.

1) Faal glomerolus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.


2) Faal Tubulus
Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Sebagaimana diketahui, GFR : 120 ml/menit/1,73 m2, sedangkan yang direabsorbsi hanya 100 ml/menit, sehingga yang diekskresi hanya 1 ml/menit dalam bentuk urin atau dalam sehari 1440 ml (urin dewasa).
Pada anak-anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai dengan umur :
a)      1-2 hari : 30-60 ml
b)      3-10 hari : 100-300 ml
c)      10 hari-2 bulan : 250-450 ml
d)     2 bulan-1 tahun : 400-500 ml
e)      1-3 tahun : 500-600 ml
f)       3-5 tahun : 600-700 ml
g)      5-8 tahun : 650-800 ml
h)      8-14 tahun : 800-1400 ml

3) Faal Tubulus Proksimal
Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak melakukan reabsorbsi yaitu ± 60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah protein, asam amino dan glukosa yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan elektrolit (Na, K, Cl, Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat, asam karbonat), H2O dan urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan basa organik.

4) Faal loop of henle
Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat cairan intratubuler lebih hipotonik.

5) Faal tubulus distalis dan duktus koligentes
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na, K, Amonium dan ion hidrogen. (Rauf, 2002 : 4-5).

2.3. Etiologi
Penyebab umum penyakit tidak diketahui; akhir-akhir ini sering dianggap sebagi suatu bentuk penyakit autoimun. Jadi merupakan reaksi antigen-antibodi. Umumnya dibagi menjadi 4 kelompok :
a)      Sindroma nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal. Resisten terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
b)      Sindroma nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :
*      Malaria kuartana atau parasit lainnya.
*      Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
*      Glumerulonefritis akut atau kronik,
*      Trombosis vena renalis.
*      Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.
*      Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.

c)      Sindroma nefrotik idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) (Arif Mansjoer,2000 :488)
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churk dkk membaginya menjadi :
v  Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada dinding kapiler glomerulus.

v  Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
v  Glomerulonefritis proliferatif
  • Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
  • Dengan penebalan batang lobular.
v  Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi tubulus. Prognosis buruk.

2.4. Insiden
a.       Insidens lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan pria ; wanita =2:1.
b.      Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya trerhadap pengobatan
c.       Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1 tahun
d.      Sindrom nefrotik perubahan minimal (SNPM) menacakup 60 – 90 % dari semua kasus sindrom nefrotik pada anak
e.       Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 % menjadi 5 % dengan majunya terapi dan pemberian steroid.
f.       Bayi dengan sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk nefrektomi bilateral dan transplantasi ginjal. (Cecily L Betz, 2002)

2.5. Patofisiologi
a.       Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hypovolemi.
b.      Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin – angiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi kalium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema.
c.       Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan penurunan onkotik plasma
d.      Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipopprtein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak dalam urin (lipiduria)
e.       Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. (Suriadi dan Rita yuliani, 2001 :217)

2.6. Manifestasi klinik
a. Menurut (Sukiane, 2002).
·         Peningkatan protein dalam urin secara bermakna (proteinuria)
  • Penurunan albumin dalam darah
  • Edema
  • Serum cholesterol yang tinggi (hiperlipidemia)
Tanda – tanda tersebut dijumpai disetiap kondisi yang sangat merusak membran kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus.
b. Menurut (Betz, Cecily L.2002 : 335 ).
·         Edema, sembab pada kelopak mata Edema biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
·         Rentan terhadap infeksi sekunder
·         Hematuria, azotemeia, hipertensi ringan
·         Kadang-kadang sesak karena ascites
·         Produksi urine berkurang
·         Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi.
Gejala secara umum:
a.       Edema (pembengkakan jaringan) akibat penimbunan garam dan air.
1.      bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka)
2.      lunak dan cekung bila ditekan (pitting)
3.      ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia (kantung zakar) dan ekstermitas bawah
b.      Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa
Bisa terjadi gagal ginjal karena rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal.
c.       Pucat
d.      Hematuri
e.       Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
f.       Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi.
g.      Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang) (Betz, Cecily L.2002 : 335 ).
h.      (anak-anak) penurunan tekanan darah pada saat berdiri sehingga menyebabkan syok.
Kekurangan gizi bisa terjadi akibat hilangnya zat-zat gizi (misalnya glukosa) ke dalam air kemih. Pertumbuhan anak-anak bisa terhambat. Kalsium akan diserap dari tulang. Rambut dan kuku menjadi rapuh dan bisa terjadi kerontokan rambut. Pada kuku jari tangan akan terbentuk garis horisontal putih yang penyebabnya tidak diketahui.
Lapisan perut bisa mengalami peradangan (peritonitis). Sering terjadi infeksi oportunistik (infeksi akibat bakteri yang dalam keadaan normal tidak berbahaya). Tingginya angka kejadian infeksi diduga terjadi akibat hilangnya antibodi ke dalam air kemih atau karena berkurangnya pembentukan antibodi.
Terjadi kelainan pembekuan darah, yang akan meningkatkan resiko terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah (trombosis), terutama di dalam vena ginjal yang utama. Di lain fihak, darah bisa tidak membeku dan menyebabkan perdarahan hebat.
Tekanan darah tinggi disertai komplikasi pada jantung dan otak paling mungkin terjadi pada penderita yang memiliki diabetes dan penyakit jaringan ikat.
7.Pemeriksaan diagnostik
a.Uji urine
1)      Protein urin – meningkat
2)      Urinalisis – cast hialin dan granular, hematuria
3)      Dipstick urin – positif untuk protein dan darah
4)      Berat jenis urin – meningkat
b.Uji darah
1)      Albumin serum – menurun
2)      Kolesterol serum – meningkat
3)      Hemoglobin dan hematokrit – meningkat (hemokonsetrasi)
4)      Laju endap darah (LED) – meningkat
5)      Elektrolit serum – bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan.
c.Uji diagnostic
Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin (Betz, Cecily L, 2002 : 335).

Evaluasi Diagnostik
Urinalisis menunjukkan haemturia mikroskopik, sedimen urine, dan abnormalitas lain. Jarum biopsi ginjal mungkin dilakukan untuk pemriksaan histology terhadap jaringan renal untuk memperkuat diagnosis.
Terdapat proteinuri terutama albumin (85 – 95%) sebanyak 10 –15 gr/hari. Ini dapat ditemukan dengan pemeriksaan Essbach. Selama edema banyak, diuresis berkurang, berat jenis urine meninggi. Sedimen dapat normal atau berupa toraks hialin, dan granula lipoid, terdapat pula sel darah putih. Dalam urine ditemukan double refractile bodies. Pada fase nonnefritis tes fungsi ginjal seperti : glomerular fitration rate, renal plasma flowtetap normal atau meninggi . Sedangkan maximal konsentrating ability dan acidification kencing normal . Kemudian timbul perubahan pada fungsi ginjal pada fase nefrotik akibat perubahan yang progresif pada glomerulus.
Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia, kadar globulin normal atau meninggi sehingga terdapat rasio Albumin-globulin yang terbalik, hiperkolesterolemia, fibrinogen meninggi. Sedangkan kadar ureum normal. Anak dapat menderita defisiensi Fe karena banyak transferin ke luar melalui urine. Laju endap darah tinggi, kadar kalsium darah sering rendah dalam keadaan lanjut kadang-kadang glukosuria tanpa hiperglikemia.

2.8. Penatalaksanaan Medik
a.       Terapi nonfarmakologis
1)      Diet : 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat.
Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgBB/hari. Giordano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri.
 Hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun.
2)      Istirahat sampai oedema tinggal sedikit

b.      Terapi farmakologis
1. Terapi spesifik :
a. untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder)
b. mengurangi atau menghilangkan proteinuria
c. memperbaiki hipoalbuminemia
d. mencegah dan mengatasi penyulit.

Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan bahwa pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap.
Schieppati dan kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini.
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi.
Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan. Hopper menggunakan dosis 100 mg/48 jam. Jika tidak ada kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai 200 mg per 48 jam dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga 2 gram atau kurang per 24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak ada manfaatnya.
Pada anak-anak diberikan prednison 60 mg/m2 luas permukaan tubuh atau 2 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu, diikuti 40 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap 2 hari selama 4 minggu. Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi :
a. Remisi lengkap
·         proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam)
·         albumin serum >3 g/dl
·         kolesterol serum < 300 mg/dl
·         diuresis lancar dan edema hilang
b. Remisi parsial
  • proteinuri <3 g="" hari="" o:p="">
  • albumin serum >2,5 g/dl
  • kolesterol serum <350 dl="" mg="" o:p="">
  • diuresis kurang lancar dan masih edema
  •  c. Resisten
    klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.
    Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus. Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik dengan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), misal kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu atau obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin 3×50mg.
    Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi protein glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus dan memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek antiproteinurik obat ini berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan setelah obat dihentikan).Angiotensin receptor blocker (ARB)(ARB) ternyata juga dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal.
    Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai 75%.
    Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.
    Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Efek samping siklofosfamid adalah depresi sumsum tulang, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan lebih dari 6 bulan. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg bb./hari selama 8 minggu. Efek samping klorambusil adalah azoospermia dan agranulositosis. Ponticelli dan kawan-kawan menemukan bahwa pada nefropati membranosa idiopatik, kombinasi metilprednisolon dan klorambusil selama 6 bulan menginduksi remisi lebih awal dan dapat mempertahankan fungsi ginjal dibandingkan dengan metilprednisolon sendiri, namun perbedaan ini berkurang sesuai dengan waktu (dalam 4 tahun perbedaan ini tidak bermakna lagi). Regimen yang digunakan adalah metilprednisolon 1 g/hari intravena 3 hari, lalu 0,4 mg/kg/hari peroral selama 27 hari diikuti klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1 bulan berselang seling.
    Alternatif lain terapi nefropati membranosa adalah siklofosfamid 2 mg/kg/hari ditambah 30 mg prednisolon tiap 2 hari selama beberapa bulan (maksimal 6 bulan). Levamisol suatu obat cacing, dapat digunakan untuk terapi SN nefropati lesi minimal pada anak-anak dengan dosis 2,5mg/kg bb tiap 2 hari sekurang-kurangnya 112 hari. Efek samping yang jarang terjadi adalah netropeni, trombositopeni dan skin rash.
    Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kgbb/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan). Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon pada kasus SN yang gagal dengan kombinasi terapi lain. Efek samping obat ini adalah hiperplasi gingival, hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis. Terapi lain yang belum terbukti efektivitasnya adalah azatioprin 2-2,5 mg/kgBB/hari selama 12 bulan.
    Pada kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat imunospresan, saat ini dapat diberikan suatu imunosupresan baru yaitu mycophenolate mofetil (MMF) yang memiliki efek menghambat proliferasi sel limfosit B dan limfosit T, menghambat produksi antibodi dari sel B dan ekspresi molekul adhesi, menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah. Penelitian Choi dkk pada 46 pasien SN dengan berbagai lesi histopatologi mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan remisi parsial 37,8 %. Dosis MMF adalah 2 x (0,5-1) gram.
    Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram natrium/hari) disertai diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton). Pada pasien SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200 mg spironolakton).
    Resistensi terhadap diuretik ini bersifat multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya transportasi obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin bukan merupakan mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien demikian dapat diberikan infussalt-poor human albumin. Dikatakan terapi ini dapat meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium. Namun demikian infus albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan edema paru pada pasien hipervolemi.
    Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A(HMG Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol. Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserida. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin D pada SN.
    Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100 mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus. Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan fungsi ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami proteinuri nefrotik, albumin <2 1="" 3="" 5="" activated="" atau="" bulan="" class="apple-converted-space" dengan="" diberikan="" dievaluasi="" diikuti="" dl="" efek="" g="" hari="" harus="" heparin="" infus="" intravena="" jika="" kali="" keduanya.="" kesembuhan="" kontrol="" oral="" pantauan="" partial="" pemberian="" sampai="" sedangkan="" selama="" setelah="" sn.="" span="" terjadi="" thromboplastin="" time="" tromboemboli="" warfarin=""> prothrombin time (PT) yang biasa dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3 kali normal. Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.
    Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus seperti campak dan herpes. Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal. Dantal dkk menemukan pada pasien glomerulosklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi ginjal, 15%-55% akan terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin disebabkan oleh adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A menurunkan ekskresi protein urin pada pasien SN karena glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun SN sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi melepaskan faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus.

    2.9. Komplikasi
    a.       Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia.
    b.      Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.
    c.       Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma.
    d.      Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.
    (Rauf, .2002 : .27-28).

     Asuhan keperawatan

    Konsep Dasar Keperawatan
    Asuhan Keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah dan memulihkan kesehatan. Proses Keperawatan merupakan susunan metode pemecahan masalah yang meliputi pengkajian keperawatan, identifikasi/analisa maslah (diagnosa Keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi yang masing-masing berkesinambungan serta memerlukan kecakapan keterampilan profesional tenaga keperawatan (Hidayat,2004)
    1.        Pengkajian.
    Pengkajian merupakan langkah awal dari tahapan proses keperawatan. Dalam mengkaji, harus memperhatikan data dasar pasien. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap pengkajian.
    Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien anak dengan sindrom nefrotik (Donna L. Wong,200 : 550) sebagai berikut :
    a.       Lakukan pengkajian fisik termasuk pengkajian luasnya edema
    b.      Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang berhubungan dengan penambahan berat badan saat ini, disfungsi ginjal.
    c.       Observasi adanya manifestasi sindrom nefrotik :
    1)      Penambahan berat badan
    2)      Edema
    3)      Wajah sembab :
    a)      Khususnya di sekitar mata
    b)      Timbul pada saat bangun pagi
    c)      Berkurang di siang hari
    4)      Pembengkakan abdomen (asites)
    5)      Kesulitan pernafasan (efusi pleura)
    6)      Pembengkakan labial (scrotal)
    7)      Edema mukosa usus yang menyebabkan :
    a)      Diare
    b)      Anoreksia
    c)      Absorbsi usus buruk
    d)     Pucat kulit ekstrim (sering)
    8)      Peka rangsang
    9)      Mudah lelah
    10)  Letargi
    11)  Tekanan darah normal atau sedikit menurun
    12)  Kerentanan terhadap infeksi
    13)  Perubahan urin :
    a)      Penurunan volume
    b)      Gelap
    c)      Berbau buah
    d)     Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian, misalnya analisa urine akan adanya protein, silinder dan sel darah merah; analisa darah untuk protein serum (total, perbandingan albumin/globulin, kolesterol), jumlah darah merah, natrium serum.

    2.    Diagnosa keperawatan
    1.      Kelebihan volumecairan berhubungan dengan hipoalbuminemia.
    Tujuan:  kelebihan volume cairan dapat teratasi setelah 3 hari perawatan dengan kriteria edema, ascites, ronki tidak ada, sembab hilang, peningkatan albumin dan tanda vital dalam batas normal


    Intervensi
    Rasional
    1.   Timbang berat badan setiap hari dengan alat yang sama

    2.   Catat pemasukan dan pengeluaran carian

    3.   Monitor nadi dan tekanan darah

    4.   Observasi adanya perubahan edema


    5.   Observasi tingkat kesadaran, bunyi paru dan jantung
    6.   Kolaboratif : diuretik

    Mengawasi status cairan yang baik. Peningkatan berat badan lebih dari 0,5 kg/hari  diduga ada retensi cairan
    Perlu waktu menentukan fungsi ginjal. Kebutuhan penggantian cairan dan penurunan resiko kelebihan cairan.
    Takikardi dan hipertermi dapat terjadi karena kegagalan ginjal untuk mengeluarkana urine.
    Edem dapat bertambah terutama pada jaringan yang tergantung. Edema periorbita menunjukkan adanya perpindahan cairan.
    Dapat menunjukkan adanya perpindahan cairan, akumulasi toksin, ketidak seimbangan elektrolit.
    Melebarkan lumen tubular, mengurangi hiperkalemia dan meningkatkan volume urine adekuat.

    1.      Nyeri (akut) berhubungan dengan akumulasi cairan dalam rongga abdomen
    Tujuan nyeri (akut) teratasi setelah 3 hari perawatan dengan kriteria secara verbal dan non verbal nyeri berkurang atau hilang, skala 0 – 3, nadi dan tekanana darah dalam batas normal, ascites menurun atau hilang.
    Intervensi
    Rasional
    1.   Observasi lingkar abdomen setiap hari

    2.   Observasi nyeri (perubahan/ penambahan), kualitas, lama
    3.   Kaji bising usus

    4.   Observasi nadi dan tensi

    5.   Kolaboratif : diuretik
    Penambahan lingkar abdomen dapaat memberikan gambaran penambahan akumulasi cairan.
    Perubahan dalam intensitas tidak umum tetapi dapat menunjukkan adanya komplikasi
    Penurunan bising usus dapat memperberat keluhan nyeri dan indikasi adanya ileus
    Nyeri yang hebat dapat meningkatkan nadi dan tensi
    Meningkatkan pengeluaran urine yang adekuat.
    1.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubugan dengan malnutrisi sekunder dari katabolisme protein
    Nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan klien setelah mendapat perawatan 3 hari dengan kriteria edema berkurang atau hilang, albumin dalam batass normal, status gizi baik dan mual tidak ada, porsi makan dihabiskan.
    Intervensi
    Rasional
    1.   Berikan diet rendah garam dan batasi pemberiana protein 1-2 gr/kg BB/hari
    2.   Kaji adanya anoreksia, muntah, diare
    3.   Catat intake dan output makanan secara adekuat.
    4.   Observasi lingkar perut, bising usus
    Mencegah retensi natrium berlebihan dan rusaknya hepar dan hemodinamik ginjal.
    Sebagai reaksi adanya edema intstinal.
    Monitoring asupan nutrisi bagi tubuh

    Memantau fungi peristaltik usus.
    1.      Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas yang menurun
    Tujuan setelah mendapat perawatan selama 1 minggu tidak terjadi infeksi dengan kriteria tidak ada tanda-tanda infeksi, tanda vital dalam batas normal, tidak terjadi phlebitis.
    Intervensi
    Rasional
    1.   Cuci tangan sebelum dan sesudah perawatan
    2.   Lakukan tindakan invasif dengan teknik aseptik
    3.   Batasi pengunjung dan tempatkan klien pada ruang non infeksi
    4.   Observasi tanda vital : nadi dan suhu tiap 3 jam
    5.   Observasi tempat pemasangan venflon.
    Mengurangi resiko terjadi infeksi nosokomial
    Meminimalkan kemungkinan terjadi infeksi antar pasien dan dari luar
    Nadi dan suhu yang meningkat indikator adanya infeksi
    Venflon merupaka port de entri kuman patogen

    1.      Kecemasan pasien berhubungan dengan dampak hospitalisasi
    Tujuan setelah mendapat perawatan 3 hari kecemasan pasien berkurang atau hilang dengan kriteria secara verbal mengatakana tidak takur, tidak menangis saat didekati, kooperatif terhadap tindakan keperawatan dan mau diajak komunikasi.
    Intervensi
    Rasional
    1.   Perkenalkan diri kepada klen dan keluarga
    2.   Libatkan keluarga dalam perawatan klien
    3.   Anjurkan agar orang terdekat klien menjaganya.
    4.   Jelaskan kepada anak setiap tindakan yang akan dilakukan
    5.   Observasi adanya perubahan perilaku pada respon hospitalisasi
    Membina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarga.
    Menciptakan hubungan kerjasama
    Memberikan rasa nyaman kepada klien
    Agar anak kooperatif pada setiap tindakan keperawatan
    Merupakan pedoman dalam menentukan perlu tidaknya perbaikan intervensi.

    2.      Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema.
    Tujuan setelah dilakukan perawatan selama 1 minggu kerusakan integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria edema berkurang atau hilang, kulit merah, tidak terjadi lecet dan dekubitus.

    Intervensi
    Rasional
    1.   Pertahankan sprei dalam keadaan kering, bersih dan rapih.
    2.   Observasi lokasi yang mengalami penekanan dalam jangka waktu yang lama
    3.   anjurkan kepada ibu untuk setiap kali ngompol kain pengalas diganti
    4.   Observasi edema
    Kelembaban yang berlebihan menimbulkan rusaknya integritas kulit
    Deteksi dini adanya kerusakan integritas kulit
    Urine bersifat asama dapat mengiritasi kulit jika kontak dalam jangka waktu yang lama
    Deteksi kemungkinan bertambah paarahnya integritas kulit.

    No comments:

    Post a Comment